About Me

Terbaru
recent

Salam dari Kota Untukmu




Sepenggal cerita ini mungkin tak akan sampai padamu. Tak tertulis alamat rumahmu disini, tak tertempel prangko diamplopnya, dan tak ada pak pos yang mau mengantarkannya padamu.

Tapi biarlah, aku hanya ingin bercerita. Menyampainkan salam dari kotaku untukmu.

Disini sepanjang jalan kumenatap hanya ada gedung-gedung tinggi pencakar langit. Hanya ada bangunan tinggi berlapis kaca yang untuk memasukinya seorang pria harus mengenakan dasi dan sepatu mengkilat, sementara yang wanita memakai pakaian rapi dengan rok pendek super ketat dan stiletto berhak wnath berapa centi. Ada juga gedung lebar tempat para ’yang katanya abdi negara’ bekerja. Yang didalamnya berlalu lalang mobil-mobil mewah dengan harga ratusan juta rupiah berplat merah.

            Tak ada orang yang bersedia kusenyumi saat perjalananku pulang menuju rumah. Tak ada sapaan hangat dari para tetangga ketika kuhendak memasuki pintu. Hanya sendiri. Semua orang sibuk dengan jadwal padatnya masing-masing. Bahkan tak ada waktu bagi mereka untuk sekedar tersenyum pada saat berpapasan muka. Kehidupan keras dipusat kota telah membuat hati mereka mengeras pula.

            Mungkin bagi orang lain, itu adalah wajar. Tapi tidak bagiku. Kau sendiri tahu, aku sudah terbiasa hidup dalam keramahan. Aku dibesarkan diperkampungan padat penduduk yang setiap harinya orang-orang selalu berlalu lalang menebar senyum dan sapa pada siapapun yang mereka temui dijalan tanah berbatu yang disekelilingnya masih dapat kulihat hijaunya pepohonan. Sementara dipusat kota yang katanya metropolitan ini, pohon-pohon dipinggir jalan sudah tak lagi ada. Tergantikan oleh jejeran poster-poster para artis mempromokan produk yang menggaji mereka dan juga jejeran poster raksasa yang memuat wajah-wajah orang yang menamai diri mereka sendiri sebagai ‘sang pembawa perubahan bangsa’ diselingi kalimat persuasive klasik untuk menyuruhmu memilih mereka sebagai wakil rakyat.

            Aku tak bisa melakukan apapun dipusat kota ini. Siangku kuhabiskan dengan duduk bekerja didepan layar hasil dari apa yang disebut teknologi. Dan malam kuhabiskan dengan bermimpi. Malamku lewat begitu saja, tanpa sempat kunikmati. Kau tahu kenapa? Karna tak ada bulan dan bintang disini. Cahaya bulan meredup, kalah dengan lampu sorot yang mendominasi langit pusat kotaku. Sedangkan gemerlapan bintang tak lagi terlihat, tertutupi kabut tebal polusi kendaraan yang bahkan sampai subuhpun masih saja berlalu lalang.

            Kala pagi tiba, tak ada suara ayam jantan yang berkokok membangunkanku. Suara ayam itu tergantikan dengan jam. Jam ajaib yang bisa berbunyi tepat dipukul berapa kita inginkan. Dan orang kota ini menamainya jam waker. ketika jam waker itu berdering memecahkan mimpiku, saat itulah kehidupan monotonku dimulai.

            Tak ada yang berkesan disini, Kawan. Bagaimana mau berkesan jika bahkan suara burung berkicaupun tak ada? Yang terdengar sepanjang hari hanyalah suara deru kendaraan bermotor yang berlalu lalang dengan kecepatan sekian meter per jam dan  hanya meninggalkan asap yang semakin menebal sementara lapisan atmosfer pelindung bumi kita semakin menipis.

            Aku tak yakin aku bisa menemukan sahabat sepertimu disini, kawan. Kau tahu, semua orang disini berjalan sambil menundukkan kepala. Jadi bagaimana bisa bertegur sapa dijalan jika kedua mata mereka tertutupi oleh benda kecil bernama smartphone? Orang-orang disini lebih suka menyapa teman didunia maya mereka ketimbang harus beramah tamah dengan orang yang mereka temui didunia nyata. Kehidupan yang aneh bukan?

            Kau ingat kan, dulu setiap malam kita selalu tertawa bersama diteras rumah, berbincang yang tak karuan sambil menikmati semangkok baso hangat. Disini, aku tak bisa seperti itu lagi. Baso disini tak ada yang enak. Mungkin karna tak ada suara tawamu yang menemaniku ketika memakannya.
           
            Segalanya berubah, kawan. Kehidupanku, kebiasaanku, gaya hidupku. Semua berubah. Kau tahu, aku jadi jarang tersenyum disini. Jujur aku khawatir semakin lama aku menetap disini semakin aku lupa caranya tersenyum. Tapi ya sudahlah. Toh, semua orang disini tak ada yang peduli aku senyum atau tidak.

            Disini aku tak lagi pernah melihat anak kecil yang mukanya cemong karna main lumpur. Anak kecil disini tak pernah main lumpur. Lumpurnya sudah ditutupi oleh lapisan hitam yang sangat tebal. Yang sering aku lihat disini adalah orang-orang dewasa yang mukanya cemong-cemong karna bedak. Bibir mereka cemong merah melepak karna gincu. Aku yakin, kalau kau ada disini mungkin kita akan tertawa sekencang-kencangnya melihat mereka.

            Mereka, orang-orang kota ini menilai orang lain berdasarkan apa yang bisa mereka lihat. Berdasarkan mobil apa yang mereka pakai, baju merek apa yang mereka kenakan, parfum merk apa yang mereka semprotkan ditubuh sehalus sutera mereka. Aku berani taruhan, semut pun akan terpeleset jika berjalan dikaki mereka. Jangankan semut, sehelai bulupun tak kulihat disana.

            Mereka menganggap orang sepertiku ini kuno, kampungan. Padahal coba kau fikir siapa yang kuno? Menetap disini, aku seolah kembali kezaman dahulu. Ketika orang dinilai berdasarkan kasta keluarga mereka. Mereka yang merasa berkasta Brahmana enggan bergabung dengan orang-orang berkasta Sudra sepertiku. Mereka fikir mereka hidup dizaman apa? Majapahit? Sampai mereka mngkotak-kotakkan manusia berdasarkan, strata dan derajat kesejahteraan mereka dinilai dari materi yang bahkan keberadaannyapun tak abadi.

            Mereka, orang-orang ini semuanya seperti punya dua kepribadian. Mereka akan mati-matian menginjak harga dirimu didepan orang lain. Tapi ketika didepanmu, mereka akan memujamu setinggi langit. Mereka semua tipe-tipe manusia penjilat yang rela melakukan apapun didepan atasan mereka hanya karna diiming-imingi jabatan dengan gaji yang tidak lagi bisa dibilang sekedar lumayan. Uang disini adalah segalanya. Siapapun yang tak ‘beruang’ akan tersingkir dari kehidupan semu dipusat kota ini. Gaya hidup dijadikan alat pengukur kebahagiaan hidup seseorang. Makanya tak heran jika orang-orang disini mati-matian mencari uang dengan cara apapun. Sampai mereka lupa dengan nasihat guru ngaji mereka ketika mereka kecil dan masih tinggal dikampung dulu tentang apa yang disebut haram, dan apa yang disebut halal. Itu tak ada bedanya lagi bagi mereka.

            Keadaan seperti ini yang membuatku agak sedikit menyesali keputusan pindahku dulu. Disini tak ada kau, sahabat. Disini tak ada baso seenak disana. Disini tak ada anak kecil berwajah cemong seperti yang dulu sering kita lihat. Disini semua berbeda.

            Satu lagi yang membuatku semakin tak betah adalah, disini aku tak bisa menonton pertunjukan tong setan seperti kita dulu. Disini tak ada biang lala dari besi berkarat yang sering kita naiki dulu. yang ada hanyalah mesin-mesin permainan canggih yang untuk memainkannya kita harus membeli koin.

            Dan disini, aku tak bisa lagi menangkap kunang-kunang. Mereka semua telah mati, terpanggang oleh cahaya mereka sendiri yang beradu dengan sorotan lampu pusat kota. Jadi toples penjebak kunang-kunangku kini tak lagi berguna. Hanya tergeletak menganga dan menjadi tempat bagi para nyamuk penebar penyakit menelurkan anak-anak mereka yang ketika besar nanti mereka akan sama tidak ramahnya seperti mahluk yang lain. Mereka akan menghisap darah manusia, walaupun manusia itu telah memberi tempat berlindung bagi mereka ketika masih berupa jentik-jentik dulu. Disini semuanya liar, kawan. Tak ada kucing jinak yang suka mengeluskan bulu halusnya dikaki-kaki kita dibawah meja seperti disana dulu. Kucing disini suka sekali mencuri ikan diwarung-warung cina dipinggir jalan.

            Bagi sebagian orang, tinggal dipusat kota itu ibarat hidup disurganya dunia. Kau tahu, disini ada bangunan tinggi sekali yang didalamnya menjual benda apapun yang kau butuhkan bahkan sampai barang yang tak kau butuhkan pun ada. Disana juga ada televisi yang lebarnya bisa sepuluh kali lipat dari televisi dirumahmu. Segala macam makanan ada dijual, mulai dari makanan korea yang sebenarnya belum matang, tapi masih saja dibeli oleh orang. Makan-makan barat yang untuk menyebut namanya saja sudah susah apalagi memakannya, karna kau harus memakai pisau dan garpu. Makanan kampung yang sering kita makan bersama dulu juga ada. Walaupun harganya bisa empat kali lipat. Pokoknya, segalanya ada. Mulai dari yang halal sampai yang haram semua dijajakan orang disana.

            Sungai disini juga bersih. Lantainya bukan tanah licin seperti dikampung. Airnya biru bening. Tapi, sehabis mandi, aku jamin badan dan rambutmu akan bau bahan kimia yang kata bapakku bernama kaporit.

            Mainlah kekotaku, kawan. dan kita akan berkeliling melihat-lihat bangunan kaca yang bisa memantulkan sinar surya kemana-mana. Tenang, kita tidak akan jalan kaki seperti dulu lagi. Kita bisa naik mobil yang untuk memesannya seperti memesan ayam goreng tepung direstoran cepat saji. Dan dia akan mengantarkan kita kemanapun kita mau. Tapi jangan jauh-jauh ya. Disini, ketika baru membuka pintu mobil saja, kita sudah ditagih enam ribu rupiah oleh sisupir yang pura-pura manis itu.

            Tapi ingat, kau disini hanya boleh bermain saja. Jangan keenakkan lalu menetap. Atau kau akan menjadi seperti aku. Akan mati perlahan ditengah cepatnya kemajuan zaman dipusat kota.

            Sudah dulu ya kawan. Nanti akan kusambung lagi ceritanya. Aku harus segera pergi kalau tidak nanti aku akan ditinggal bis; satu-satunya hal yang ramah terhadap orang sepertiku ditengah kota yang tak acuh ini. Salam hangat dari kota untukmu. Sampai bertemu.

No comments:

Powered by Blogger.